Daftar puisi di bawah ini adalah Judul Puisi yang merupakan Puisi Wajib untuk Lomba Pembacaan Puisi maupun Puisi Pilihan. Silahkan Copy Paste!
Puisi yang wajib dibaca: Pemberian Tahu
Puisi Pilihan (Pilih Salah Satu
Untuk Dibaca):
1. Tentang Matahari
2. 100 Tahun dari Ibu Kathi
3. Potret Taman Untuk Allen
Ginsberg
4. Tak Sepadan
5. Peringatan
PEMBERIAN TAHU
Bukan
maksudku mau berbagi nasib,
nasib
adalah kesunyian masing-masing.
Kupilih
kau dari yang banyak, tapi
sebentar
kita sudah dalam sepi lagi terjaring.
Aku
pernah ingin benar padamu,
Di
malam raya, menjadi kanak-kanak kembali,
Kita berpeluk ciuman tidak jemu,
Rasa
tak sanggup kau kulepaskan.
Jangan
satukan hidupmu dengan hidupku,
Aku
memang tidak bisa lama bersama
Ini
juga kutulis di kapal, di laut tidak bernama!
1946
Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros.
Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka.
Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak 'kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka.
Februari 1943
TAK SEPADAN
Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros.
Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka.
Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak 'kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka.
Februari 1943
Oleh: Chairil Anwar
TENTANG MATAHARI
Matahari yang di atas
kepalamu itu
adalah balon gas yang
terlepas dari tanganmu
waktu kau kecil, adalah bola
lampu
yang ada di atas meja ketika
kau menjawab surat-surat
yang teratur kau terima dari
sebuah Alamat,
adalah jam weker yang
berdering
saat kau bersetubuh, adalah
gambar bulan
yang dituding anak kecil itu
sambil berkata:
“Ini matahari! Ini
matahari!” –
Matahari itu? Ia memang di
atas sana
supaya selamanaya kau
menghela
baying-bayangmu itu.
1971
Oleh: Sapardi Djoko Damono
PERINGATAN
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa berpidato
Kita harus hati hati
Barangkali mereka putus asa
Ketika penguasa berpidato
Kita harus hati hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat sembunyi
Dan berbisik bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Oenguasa harus waspada dan belajar mendengar
Dan berbisik bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Oenguasa harus waspada dan belajar mendengar
Dan bila rakyat tidak
berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak
tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversi dan menggangu keamanan
Maka hanya satu kata : lawan !
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversi dan menggangu keamanan
Maka hanya satu kata : lawan !
(Solo,1986)
Oleh: Wiji Thukul
Dan berkata "Tuan pasti dari dunia ke 3"
Lalu ia, dari dunia pertama, mengunyah sarapan
Seraya mengutip Mao Tse-tung
Dan sebuah sajak gunung - ramah sekali
Bisakah ia tidur?
Sebelum anggur
Lalu mungkin mimpi
Di lindungan Malaikat Masehi?
Ia telah berjalan dalam angin
Dan mengucup es krim
Dan membca berita di halaman pertama
Tentang sebuah perang
Di Asia Tenggara
Ia kini duduk bersila
Di bangku taman KotaPraja
Mungkin semadi
Mungkin aku tidak mengerti
Karena ia berkata
"Di Vietnam tak ada orang mati
Tak ada Vietnam & orang tak mati"
Lalu ia mencari kepak burung
Ia mencari merpati
Ia mencari lambang
Ia mencari makna hari
Ia mencari seakan ia tau
Apa yang ingin ia temukan & tiba-tiba ia menuliskan:
"Revolusi, Revolusi, Tak bisa dipesan hari ini"
Lalu ia bangkit ia mual ia mencium
Bau biasa dari kakus umum;
Ia basah oleh tangis & ia meludah
"Kencingilah kaum Borjuis!"
Adakah ia Nabi?
Tuhan. Di taman ini orang juga ngelindur
Tentang perempuan berpupur
Dan sebuah mulut berahi kudengar memaki:
"Sialan, kenapa aku disini!"
Atau mungkin ia ngelindur tentang sebuah dusun
Yang hancur & sisa infrasi & mayat
Dan ulat & ruh & matahari?
Aku dengar seorang-orang tua
Yang kesal & lalu berkata:
"Di sekitar hari Natal, pernah terjadi hal yang tak masuk akal.
Misalnya mereka membom Hanoi sebelum (bukan sesudah) aku minum kopi."
1973
POTRET TAMAN UNTUK ALLEN GINSBERG
Ia menembak dari warna kulit saya
Dan berkata "Tuan pasti dari dunia ke 3"
Lalu ia, dari dunia pertama, mengunyah sarapan
Seraya mengutip Mao Tse-tung
Dan sebuah sajak gunung - ramah sekali
Bisakah ia tidur?
Sebelum anggur
Lalu mungkin mimpi
Di lindungan Malaikat Masehi?
Ia telah berjalan dalam angin
Dan mengucup es krim
Dan membca berita di halaman pertama
Tentang sebuah perang
Di Asia Tenggara
Ia kini duduk bersila
Di bangku taman KotaPraja
Mungkin semadi
Mungkin aku tidak mengerti
Karena ia berkata
"Di Vietnam tak ada orang mati
Tak ada Vietnam & orang tak mati"
Lalu ia mencari kepak burung
Ia mencari merpati
Ia mencari lambang
Ia mencari makna hari
Ia mencari seakan ia tau
Apa yang ingin ia temukan & tiba-tiba ia menuliskan:
"Revolusi, Revolusi, Tak bisa dipesan hari ini"
Lalu ia bangkit ia mual ia mencium
Bau biasa dari kakus umum;
Ia basah oleh tangis & ia meludah
"Kencingilah kaum Borjuis!"
Adakah ia Nabi?
Tuhan. Di taman ini orang juga ngelindur
Tentang perempuan berpupur
Dan sebuah mulut berahi kudengar memaki:
"Sialan, kenapa aku disini!"
Atau mungkin ia ngelindur tentang sebuah dusun
Yang hancur & sisa infrasi & mayat
Dan ulat & ruh & matahari?
Aku dengar seorang-orang tua
Yang kesal & lalu berkata:
"Di sekitar hari Natal, pernah terjadi hal yang tak masuk akal.
Misalnya mereka membom Hanoi sebelum (bukan sesudah) aku minum kopi."
1973
Oleh: Goenawan Mohamad
100 Tahun Dari Ibu Kathi
Di sebuah desa, dengan hutan-hutan kecil di Jegenstorf,
sebuah kantor pos, tumbuh bunga-bunga rumput dengan
nama sedih: Vergissmeinnicht
– Jangan lupakan saya ...
Lalu ia memotret dengan tubuh tua gemetar,
waktu yang
gemetar juga, dan tahu: Kami pernah bertemu 100
tahun
yang lalu. Kathi, Kathi yang lampau, gerimis
merumuskan
tubuh kita kembali, di bawah cuaca dingin
lukisan cat air
Albert Anker. Tetapi di lembah itu, tubuhmu
jadi ham-
paran gandum terbakar. Udara telah jadi kota
padat, Kathi.
Aku kunjungi juga menu berbagai bangsa,
suku-suku tua
museum antropologi. Tapi tak kutemui juga kau
di sana.
Dari 100 tahun, potret gemetar menyimpan
orang-orang
diburu dalam tubuhku. Langit jadi putih masai,
Kathi,
seperti hamparan waktu 100 tahun di lembah itu:
Kita hanya
Membuat kata, pada sepi di luar sana.
Aku
turuni lagi tangga-tangga lembah itu. Ketika aku
genggam,
burung-burung beterbangan dari tangannya.
100
Tahun telah mengubah kita jadi sungai, Kathi. Lalu
aku
bawakan selendang berenda, kebaya bersulam dari
Tenggara.
Tetapi tanganmu tua gemetar, menyentuh bahu
100
tahun: Di lembah itu, di lembah itu ...vergissmeinnicht,
Kathi.
1993
Malna,
Afrizal. 2009. Arsitektur Hujan. Yogyakarta: Omahsore.
0 komentar:
Posting Komentar